Mazmur 13:1-6 Waktu Tuhan Pasti yang Terbaik
Shalom,
Umumnya proses ibu hamil yang mau melahirkan ditandai dengan kontraksi yang makin sering terjadi. Manusia dapat memprediksi kapan bayi lahir ke dunia tetapi Pembicara mengalami hal berbeda ketika menghadapi kelahiran anak kedua. Mereka baru selesai kontrol ke dokter kandungan dan berada di parkiran rumah sakit mau pulang ketika tiba-tiba si istri mengatakan akan melahirkan saat itu. Pembicara sangat kaget karena melihat si istri masih sehat tanpa ada keluhan atau tanda mau melahirkan (sebab dokter baru saja mengatakan kalau kelahiran baru terjadi satu atau dua minggu ke depan). Karena si istri tampak serius mereka berdua balik ke rumah sakit dan benar hari itu juga anak kedua lahir. Terbukti waktu yang ditetapkan oleh manusia semua serba prediksi dan kemungkinan; tidak demikian dengan waktu-Nya Tuhan yang ditandai dengan kepastian dan selalu terbaik.
Bagaimana pendapat pemazmur tentang waktu-Nya Tuhan?
Walau kadang terlihat tidak sesuai dengan waktunya dia (ay. 1-3).
Buktinya? Hingga dua kali dia mengeluh kepada TUHAN, “berapa lama lagi TUHAN, Kau- lupakan aku terus menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” (ay. 2)
Ungkapan “berapa lama lagi” pasti berkaitan dengan waktu. Tampak pemazmur membuat perbandingan dan merasa kontradiktif antara waktu Tuhan dengan waktu dia. Pemazmur ingin doanya cepat dijawab sementara cara kerja Tuhan memerlukan ketepatan dalam menyelesaikan perkara. Pemazmur menjadi tidak sabar dan menganggap Tuhan lupa akan janji-Nya dan tidak bertanggung jawab atas dia.
Perlu diketahui Mazmur 13 tidak disertai superscript (penjelasan latar belakang peristiwa yang dicatat untuk menggambarkan mengapa mazmur tersebut dibuat). Berbeda dengan Mazmur 3:1 yang menuliskan “ketika Daud lari dari anaknya, Absalom”. Jadi, Mazmur 13 tidak bersifat personal bagi pribadi seseorang (Daud) tetapi merupakan cerminan dari keadaan diri kita masing-masing yang mewakili anak kecil, orang muda maupun orang tua.
Sebenarnya ada paradoks/ pertentangan di dalam diri pemazmur, entah karena dia begitu khawatir atau karena pengenalannya akan TUHAN kurang tepat. Buktinya, dia mempertanyakan Tuhan yang menurutnya melupakan dia terus menerus tetapi dia menyebut atribut TUHAN/YEHOVAH – AKU ADALAH AKU – Pribadi yang selalu ada dan tidak pernah tidak ada alias kekal selamanya. Ia tidak dipengaruhi oleh keadaan, ruang dan waktu, IA tidak dikuasai oleh waktu sehingga ada sesuatu yang IA ingat atau sesuatu yang IA lupakan. Identitas ini diberikan TUHAN kepada Musa yang bertanya siapa Nama-Nya supaya bangsa Israel tahu siapa Allah yang akan memimpin mereka keluar dari tanah Mesir (Kel. 3:13-14). TUHAN tidak perlu nama sedangkan kita membutuhkan nama untuk membedakan identitas antara orang yang satu dengan lainnya. Ia tidak melupakan janji-Nya kepada Abraham ratusan tahun sebelumnya bahwa Ia akan melepaskan keturunannya dari kesengsaraan di Mesir (ay. 15-17).
Jadi, siapa yang lupa? Ya Pemazmurlah/kitalah yang lupa kalau ternyata TUHAN itu tidak bisa lupa. Mulut pemazmur (juga kita) mengenal nama TUHAN yang tidak dikendalikan oleh ruang dan waktu, tetapi hati dan pikiran pemazmur (juga kita) meragukan-Nya lalu menganggap Ia lupa akan janji-Nya. Jujur, kitalah yang sering melupakan Tuhan sebab Ia adalah Pribadi yang tidak pernah tidur barang sejenak pun untuk istirahat.
Ilustrasi: ada kelompok orang membuat allah-allah dari perunggu kemudian pada saat-saat tertentu bibir si allah tersebut diberi banyak madu dengan tujuan si allah itu akan berbicara kepada pemimpinnya segala sesuatu yang baik tentang mereka agar mereka diberkati lebih melimpah. Bukankah sikap kita tidak jauh berbeda dengan mereka? Kita melupakan Tuhan lalu menciptakan “tuhan-tuhan” kecil sesuai keinginan kita untuk kita kendalikan dan memperlakukan Tuhan sebagai simbol belaka. Kita datang kepada Tuhan membawa proposal- proposal yang sudah lengkap hanya untuk minta persetujuan tanda tangan dari-Nya. Dengan kata lain, kita mengatur Tuhan sesuai dengan kemauan kita dan kehendak kita harus terjadi. Sebenarnya yang menjadi TUHAN itu siapa dan yang minta tolong itu siapa?
Pemazmur juga mengatakan “Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” Benarkah TUHAN mempunyai wajah? Kalimat ini berupa majas yang mana TUHAN dipersonifikasikan seperti manusia yang memiliki wajah sebab sesungguhnya tidak seorang pun mampu bertahan memandang “wajah-Nya” (Kel. 33:20). Dalam konteks agama Yahudi, memandang “wajah TUHAN” dimaknai sebagai kehadiran berkat-Nya atas mereka (Bil. 6:23- 27).
Jelas sekarang pertanyaan “berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu” bermakna “mengapa Engkau tidak bertanggung jawab memberkati aku sekian lama ini apalagi aku telah setia kepada-Mu?” Pemahaman kita tentang berkat dan penyertaan Tuhan ialah kalau kita tidak sakit, tidak berdukacita, tidak punya utang, tidak ada kerugian, tidak ada masalah. Padahal kriteria berkat tidak sakit, tidak mempunyai masalah dll. dimiliki oleh orang yang sudah mati. Justru manusia hidup memerlukan itu semua, maksudnya bukti kita masih hidup ialah kita pasti menghadapi permasalahan. Contoh: kita butuh sakit agar tubuh kita terlatih dan kekebalan/imunitas naik; kita perlu berdukacita supaya mengerti indahnya sukacita dst. Sangat berisiko tinggi kalau Tuhan tidak ada di dalam diri kita, kita akan menyadarinya ketika kita terbaring lemah tidak mempunyai apa-apa dan siapa lagi. Di saat itu kita mengakui bahwa memiliki Tuhan sama dengan memiliki segalanya karena kesehatan dan harta benda dapat habis. Harta yang terindah adalah Yesus Kristus. Selama masih hidup, kita pasti bersentuhan dengan masalah dengan orang-orang di sekitar karena beda selera dan keinginan. Jadi buanglah jauh-jauh pertanyaan “berapa lama lagi Engkau tidak memberkati aku” sebab kita tidak akan pernah cukup/puas dengan apa yang ada di tangan kita. Sebaliknya, kita belajar untuk selalu bersyukur kepada Tuhan yang dapat kita harapkan dan andalkan.
Benarkah Tuhan suka mengulur waktu? Tidak, selalu ada maksud dan tujuan ketika menurut kita waktunya TUHAN kurang sinkron dengan waktu yang kita inginkan. Dalam peristiwa Lazarus, Yesus tahu bahwa Lazarus telah mati sementara Marta percaya saudaranya tidak akan mati kalau Yesus ada bersama mereka (Yoh. 11:20-22). Justru Yesus bersyukur tidak hadir saat itu (ay. 15). Yesus tidak hadir untuk mengintervensi bukan berarti Ia tidak ada sebab Ia tahu persis permasalahan dukacita yang dihadapi oleh Marta dan Maria karena kehilangan orang yang dikasihi mereka. Dalam hal ini, Yesus mau mendidik mereka untuk belajar percaya akan waktu-Nya.
Aplikasi: hendaknya kita mengerti bahwa Tuhan bukan pelupa atau tidak bertanggung jawab tetapi Ia ingin meningkatkan kapasitas rohani kita untuk makin mengenal-Nya. Misal: dengan adanya pandemi 2½ tahun ini seluruh perekonomian global terpuruk menyebabkan terjadinya banyak pengangguran. Apapun yang terjadi, kita bersyukur dengan penderitaan yang kita alami untuk mengerti pemeliharaan Tuhan hingga saat ini. Pengalaman sakit membuat kita menghargai kesehatan; ketika rugi, kita baru mengerti betapa indahnya kalau mendapat untung; ketika mengalami kesulitan, kita baru mengerti bagaimana orang lain mengalami kesulitan untuk dapat menolong mereka.
Selain bertanya “berapa lama lagi” kepada Tuhan, dua kali pula dia mengajukan pertanyaan kepada dirinya sendiri, “Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?” (ay. 3)
Pemazmur mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan ini untuk membenarkan diri supaya terlihat benar sementara Tuhan terlihat serba salah.
Saat pemazmur merasa ada yang salah dengan tindakan TUHAN, sebenarnya dia sendiri yang menjadi sumber dari segala persoalan. Buktinya dia sendiri yang menaruh kekhawatiran dalam hatinya. Bukankah Yesus sendiri mengatakan agar kita tidak perlu khawatir (Mat. 25-34)?
Introspeksi: bukankah kita sering menyalahkan orang lain yang membuat kita khawatir padahal kita sendiri yang menaruh kekhawatiran itu dalam hidup kita? Mengapa kita tidak dapat makan enak dan tidur nyenyak? Karena kita menaruh masalah ini di dalam hati dan pikiran, membuat kita seperti dikejar-kejar oleh bayangan masalah ini. Memang kita menghadapi banyak masalah tetapi bawalah persoalan ini kepada Tuhan maka Ia akan turut bekerja menyelesaikan permasalahan ini. Oleh sebab itu cepat buang perasaan khawatir dan gantikan dengan percaya kepada-Nya yang mampu menyelesaikan masalah nikah, rumah tangga dan pekerjaan kita. Ingat, manusia tidak diciptakan Allah untuk memiliki hati, pikiran dan perasaan menjadi tempatnya kekhawatiran; sebaliknya, hati, pikiran dan perasaan didesain untuk bahagia, bersukacita dan bersyukur kepada Allah.
Walau kadang tidak mudah dimengerti (ay. 4-6)
“Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya supaya jangan aku tertidur dan mati supaya musuhku jangan berkata: "Aku telah mengalahkan dia," dan lawan-lawanku bersorak-sorak apabila aku goyah. Tetapi aku, kepada kasih setia- Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu.”
Sebenarnya ayat di atas ini sangat indah karena mengandung permohonan agar TUHAN segera menjawab doanya tetapi sangat disayangkan tujuan dari permohonannya mengurangi bobot nilai permohonan sebab pemazmur bertujuan supaya dia tidak mati konyol dan tidak dipermalukan oleh lawan-lawannya. Permohonannya bertujuan “membela Allah” supaya marwah kekudusan Allah tidak dicemari. Contoh: kita berdoa, “Tuhan, jangan Engkau permalukan hamba-Mu ini; ketika aku berdoa untuk orang sakit, biarlah dia sembuh.” atau “Tuhan tolong usaha ini, kalau tidak ditolong oleh-Mu apa kata dunia?”
Sesungguhnya tidak ada perbuatan manusia siapa pun dapat mendongkrak kemuliaan Allah yang telah mulia; tidak ada sedikit pun campur tangan manusia untuk menjaga kekudusan Allah agar tetap stabil dan tak tercemari. Doa-doa manusia yang dipanjatkan tiap detik tidak akan meningkatkan elektabilitas dan ketenaran Allah. Juga gerakan demo apa pun tidak dapat membela penistaan terhadap Yesus Kristus untuk menjaga kesucian-Nya. Allah tidak pernah kotor dan ternodai oleh apa pun.
Kitalah yang sombong dan merasa hebat seperti dilakukan oleh Saul yang bertindak bodoh dengan mempersembahkan kurban bakaran tanpa menunggu kedatangan Samuel karena melihat orang-orang Filistin datang menyerang (1 Sam. 13:12-13). Saul tidak mengikuti perintah Allah, dia tidak sabar menunggu tujuh hari akan kedatangan Samuel.
Waspada, ketika kita mempertanyakan waktunya Tuhan, ini menjadi pencobaan yang dapat menghancurkan kita sebab:
Logika kita akan berbicara. Kita merasa pertimbangan kita lebih bijak dibandingkan dengan pikiran TUHAN. Bukankah Abraham juga berpikir Allah perlu dibantu karena sudah terlanjur berjanji memberi keturunan dan dia menunggu waktu cukup lama sehingga dia menerima tawaran Sara untuk menghampiri Hagar hingga melahirkan Ismael?
Berani/memaksakan diri mengambil keputusan. Kalau orang sudah dalam tahap ini, susah untuk dihentikan – semua nasihat yang diberikan dianggap karena orang itu tidak Contoh: Saul merasa lebih mengerti menghadapi musuh dibanding Samuel yang tidak mengerti politik peperangan. Itu sebabnya dia tidak menunggu kedatangan Samuel tetapi memutuskan mempersembahkan kurban bakaran sendiri. Sebenarnya ini bukan tentang siapa yang berkuasa tetapi tentang siapa yang ditahbiskan Allah. Waspada, jangan merendahkan hamba Tuhan yang dianggap tidak luas wawasan kemudian tidak mendengarkan nasihatnya. Demikian pula istri dapat lebih pintar dari suami, anak dapat berpenghasilan lebih banyak dari orang tua tetapi penghormatan terhadap suami dan orang tua merupakan pengurapan yang sudah Tuhan tetapkan.
Hendaknya kita tetap percaya akan pertolongan Tuhan yang indah pada waktu-Nya walau kondisi sudah kacau balau. Percayalah waktu Tuhan pasti yang terbaik walau kadang tidak sesuai dengan waktu kita dan sulit dimengerti oleh akal pikiran kita. Serahkan kekhawatiran kita kepada-Nya maka Ia akan memberikan kita ketenangan dan damai sejahtera dari-Nya. Amin.