Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Lahirnya Pemikiran Teologi Death of God

 Dalam sejarah teologi Kristen, muncul berbagai pemikiran yang menggugah dan bahkan mengguncang fondasi iman tradisional. Salah satu gerakan paling kontroversial adalah teologi Death of God, yang sempat mencuat pada abad ke-20. Pemikiran ini tidak hanya menantang konsep klasik tentang Allah, tetapi juga memaksa gereja dan umat percaya untuk merenungkan kembali makna iman dalam dunia modern yang serba rasional dan sekuler. Tulisan berikut menyajikan ulasan historis dan teologis tentang gerakan ini secara mendalam, bukan untuk menyesatkan, tetapi untuk memperluas wawasan dan mengajak kita berdialog secara kritis tentang bagaimana iman Kristen dapat terus berbicara secara relevan di tengah zaman.

Teologi Death of God atau “teologi kematian Allah” adalah sebuah aliran pemikiran teologis yang berkembang terutama pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Eropa, yang mencoba merespons krisis iman dalam dunia modern yang semakin sekuler. Gerakan ini muncul dari pergumulan teolog-teolog kontemporer terhadap hilangnya relevansi doktrin tradisional mengenai Allah di tengah dunia yang telah mengalami banyak perubahan baik secara sosial, ilmiah, maupun filosofis. Gerakan ini dipandang sangat radikal karena secara frontal menantang pemahaman klasik tentang Allah sebagai pribadi yang mahakuasa, transenden, dan aktif dalam sejarah manusia.

Istilah “Death of God” sendiri sebenarnya bukan berasal dari dunia teologi, melainkan pertama kali dikenal luas melalui tulisan filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, khususnya dalam bukunya The Gay Science dan Thus Spoke Zarathustra. Dalam karyanya, Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” (Gott ist tot), yang bukan berarti bahwa Tuhan secara harfiah telah mati, tetapi bahwa kepercayaan kepada Tuhan tradisional telah kehilangan maknanya dalam budaya modern yang didominasi oleh sains, rasionalisme, dan humanisme sekuler. Nietzsche tidak merayakan kematian Tuhan, melainkan menyadari bahwa hal itu membuka kehampaan moral dan spiritual yang besar dalam kehidupan manusia Barat. Kematian Tuhan, dalam konteks Nietzsche, adalah pengakuan bahwa nilai-nilai moral dan religius yang selama ini menopang masyarakat Eropa tidak lagi memiliki fondasi yang kokoh.

Pemikiran Nietzsche ini kemudian diangkat dan dikembangkan oleh sejumlah teolog Kristen, terutama di Amerika Serikat, yang merasa bahwa teologi Kristen harus jujur mengakui kenyataan zaman modern. Salah satu tokoh paling terkenal dalam teologiDeath of God adalah Thomas J.J. Altizer, seorang teolog yang menulis secara provokatif bahwa Allah benar-benar telah mati secara historis dan teologis dalam peristiwa penyaliban Kristus. Altizer melihat kematian Kristus bukan hanya sebagai peristiwa penyelamatan, tetapi juga sebagai simbol bahwa Allah telah mengosongkan diri-Nya sepenuhnya ke dalam dunia (kenosis) dan tidak lagi hadir sebagai entitas yang terpisah dari manusia. Bagi Altizer, kematian Allah adalah awal dari pembebasan manusia menuju kedewasaan rohani yang otonom. Ia menggabungkan pemikiran Kristen dengan pengaruh mistisisme timur dan teologi proses untuk menekankan kehadiran Allah yang imanen dalam dunia dan sejarah manusia, bukan Allah yang transenden dan jauh.

Tokoh lain yang penting dalam gerakan ini adalah William Hamilton dan Paul van Buren, yang sama-sama menekankan bahwa konsep tradisional tentang Allah tidak lagi relevan di tengah masyarakat modern yang mengedepankan rasionalitas. Mereka menolak gagasan Allah sebagai pribadi adikodrati yang campur tangan dalam peristiwa sehari-hari, dan lebih menekankan pentingnya etika dan eksistensi manusia dalam kehidupan. Dalam pandangan ini, teologi bukan lagi berbicara tentang “apa yang Allah lakukan”, melainkan “bagaimana manusia hidup secara autentik dalam terang nilai-nilai Kristiani” tanpa bergantung pada intervensi ilahi.

TeologiDeath of God juga dipengaruhi oleh pemikiran Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Jerman yang menulis dari penjara Nazi bahwa umat Kristen harus belajar hidup dalam dunia “seolah-olah Allah tidak ada” (etsi deus non daretur). Bonhoeffer bukan ateis, tetapi ia menyadari bahwa dunia modern memerlukan bentuk iman yang tidak bersandar pada “God of the gaps” Tuhan yang hanya dipanggil saat manusia tidak bisa menjelaskan sesuatu. Baginya, kehadiran Allah justru paling nyata dalam penderitaan, dalam salib Kristus, dan dalam solidaritas dengan sesama manusia.

Meskipun gerakan ini bersifat provokatif dan banyak menuai kritik, terutama dari kalangan konservatif, teologi Death of God tetap meninggalkan jejak yang signifikan dalam perkembangan teologi kontemporer. Salah satu warisan terbesarnya adalah dorongan untuk menafsirkan kembali iman Kristen secara jujur dan terbuka terhadap tantangan zaman, serta untuk mencari bentuk spiritualitas yang otentik dalam dunia yang plural, sekuler, dan kompleks. Teologi ini mendorong gereja untuk bertanya: Apakah Allah yang kita khotbahkan benar-benar hidup dalam kesadaran dan tindakan umat? Ataukah hanya menjadi simbol yang kosong dan tidak berdampak?

Secara teologis, Death of God memaksa umat Kristen untuk meninggalkan “zona nyaman” dari penggambaran Allah sebagai pengatur dari segala hal, dan mengajak mereka menggali lebih dalam tentang iman yang bertanggung jawab di tengah ketidakhadiran yang dirasakan. Dalam konteks pastoral dan misi, teologi ini juga membuka ruang bagi pendekatan baru dalam menjangkau mereka yang merasa jauh dari agama atau kecewa terhadap institusi gereja.

Kini, meskipun gerakan Death of God secara formal tidak lagi populer, banyak ide-idenya tetap hidup dalam bentuk teologi kontekstual, post-theistic spirituality, dan dialog interdisipliner antara teologi dan filsafat. Bahkan, dalam era pascamodern ini, kejujuran dan keberanian yang ditunjukkan oleh gerakan ini menjadi bahan refleksi penting bagi gereja dan teolog masa kini dalam mengkomunikasikan Injil secara bermakna.