Mazmur 7:1-18 Tenang Dalam Kediaman Allah
Shalom,
Kalau kita memerhatikan alur dan sistem pengadilan di negeri kita, pemeriksaan sebuah kasus sangatlah panjang dan melelahkan dimulai dari penyelidikan dan penyidikan di kepolisian kemudian ke kejaksaan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung, peninjauan kembali, grasi dst. Belum lagi di setiap tahapan ada pembelaan dan tuntutan serta pembuktian yang mana masing-masing pihak berlomba-lomba menyakinkan hakim sehingga tidak sedikit terjadi luapan emosi, amarah, tangisan histeris dan tekanan psikologis yang membuat masing-masing pihak menanti keadilan dengan was-was dan gelisah. Tidak sedikit pula harus diakhiri dengan kekecewaan setelah tahapan yang begitu panjang dan melelahkan karena putusan pengadilan sama sekali tidak adil sebab dipengaruhi banyak faktor seperti: pengacaranya kurang bagus, bukti/saksi tidak menguatkan, “minum kopinya” kurang banyak dst. Terbukti orang menjadi tidak tenang dalam mencari keadilan. Bahkan di akhir tahun 2021 muncul tagar yang viral di masyarakat internet (nitizen): #percuma lapor polisi# karena tidak ada gunanya mencari keadilan kepada polisi sebab orang yang lapor ke polisi malah dipermasalahkan oleh oknum polisinya. Untung, Kapolri segera menanggapi hal ini sebagai koreksi yang harus didengarkan oleh institusi polri.
Raja Daud juga menghadapi kasus dengan Kush, orang Benyamin, lalu dia menulis Mazmur 7 sebagai wadah pengadilan yang membuatnya tenteram dan tenang. Daud merasa damai ketika mencari keadilan kepada Allah. Mengapa pemazmur merasakan tenang di dalam keadilan Allah?
1. Karena keadilan Allah adalah sebuah kepastian. Itu sebabnya dalam tulisannya Daud mengubah:
- Ratapan menjadi pujian
Sepertinya ada kontradiksi atau keanehan/kejanggalan pada ayat-ayat ini. Mazmur ini merupakan ratapan sekaligus pujian, maksudnya di satu sisi disebut sebuah ratapan tetapi di sisi lain disampaikan melalui nyanyian disertai dengan ucapan syukur. Dengan kata lain, Daud menghadapi pergumulan berat tetapi menyampaikannya dengan ringan dalam sajak nyanyian. Ini berarti pemazmur mempunyai pemahaman dan pengalaman luar biasa dengan merespons penderitaan agak berbeda daripada orang-orang pada umumnya. Daud tidak sedang depresi tingkat tinggi tetapi sangat memahami apa yang sedang dihadapinya dan kepada siapa dia berbicara. Dia tidak mengurangi atau meremehkan bobot persoalan yang sedang dihadapinya. Kalau begitu apa yang membuat dia menjalaninya tanpa beban berat? Inilah yang disebut dengan mazmur keyakinan yang mana keadilan Allah tidak sedikitpun perlu diragukan. Hati Daud sangat damai dan tenang ketika menyerahkan perkaranya kepada Allah.
Pertanyaan: apa yang membuat seseorang gelisah ketika mengadukan perkaranya ke pengadilan atau para penegak hukum? Mungkin di dalam benaknya sudah tertanam pemikiran bahwa “keadilan muncul jika ada tekanan” dan tidak yakin adanya “persamaan di hadapan hukum”. Hatinya menjadi gelisah karena melihat pengacara lawannya adalah kelas kakap sementara dia hanya mampu menyewa pengacara biasa. Bukankah sering terjadi maling ayam yang ketangkap digebuki hingga babak belur tanpa melibatkan HAM karena tidak ada yang membelanya? Beda dengan penjahat kerah putih yang korupsi ratusan miliar masih bebas berkeliaran atau kalaupun ditangkap mereka gampang melapor ke komnas HAM jika merasa ditekan. Inilah pengadilan di dunia yang mana keadilan dapat dibeli dengan uang dan penegak keadilan dapat dipengaruhi dengan uang suap. Walau sudah memberi suap, hatinya tetap was-was karena takut lawan yang beperkara dengannya memberi uang suap lebih banyak daripada dia.
Raja Daud, sang peratap sekaligus pemazmur, yakin ratapannya akan tetap menjadi ratapan dan tidak pernah berubah menjadi pujian jika datang kepada pengadilan dunia. Itu sebabnya dia datang kepada Allah yang diyakini adil seadil-adilnya dan akan menampung serta menangani ratapannya dengan tepat, proporsional dan profesional.
Bagaimana mungkin Daud begitu yakin bahwa Allah itu adil? Semua ini tidak lepas dari pengalaman masa lalunya. Sebelum menulis Mazmur 7 ini, Daud mengalami banyak keadilan Allah yang berlaku baginya, antara lain:
♦ Allah adil kepadanya ketika menghadapi Goliat yang beda postur tubuh dan profesi – tentara vs gembala kambing domba (1 17:40-57).
♦ Allah adil terhadapnya ketika pilihan menjadi pengganti Saul jatuh kepadanya yang tidak diperhitungkan (1 16:11-13).
♦ Allah adil terhadapnya ketika menjadi pengawal Dua kali mau dibunuh oleh Saul dengan lemparan tombak tetapi Daud dapat mengelakkannya (1 Sam. 18:11-12).
♦ Allah adil terhadapnya ketika Saul ingin membunuhnya; yang terjadi malah Daud membiarkan Saul hidup (1 24, 26).
♦ Allah adil terhadap perkaranya dengan Nabal yang tidak pernah menghargai pertolongan Daud dan pasukannya ketika mengamankan harta benda dan ternak Nabal (1 25).
Dan sekarang Allah yang sama tetap adil menghadapi perkara kudeta yang dilakukan oleh anaknya, Absalom, dan serangan fisik maupun verbal yang dilakukan oleh Simei, keturunan Benjamin (2 Sam. 16:5-13).
Aplikasi: kita tidak perlu menyewa pengacara hebat atau uang banyak untuk menyuap oknum penegak keadilan ketika menghadapi masalah besar. Mulailah memiliki pengalaman untuk percaya bahwa Allah pasti adil membela perkara kita. Iman tumbuh dari tahapan satu ke tahapan lainnya – diuji dari setiap pengalaman hidup untuk dapat menghadapi masalah dengan percaya sambil bermazmur tentang kebaikan dan dari-Nya, Pencipta langit dan bumi.
b. Ketakutan menjadi tantangan (ay. 4-6)
“Ya TUHAN, Allahku, jika aku berbuat ini: jika ada kecurangan di tanganku, jika aku melakukan yang jahat terhadap orang yang hidup damai dengan aku atau merugikan orang yang melawan aku dengan tidak ada alasannya maka musuh kiranya mengejar aku sampai menangkap aku dan menginjak-injak hidupku ke tanah dan menaruh kemuliaanku ke dalam debu. Sela”
Kalau kita perhatikan lebih saksama, ada kata-kata “jika” yang diucapkan beberapa kali kemudian dilanjutkan dengan kata “maka”; ini menunjukkan hubungan sebab-akibat/konsekuensi.
Tidak semua orang berani mengatakan ‘jika-maka” di pengadilan melawan jaksa penuntut dan hakim. Misal: terdakwa mengatakan, ‘Jika Bapak dapat membuktikan saya bersalah maka saya akan potong leher saya sekarang.” Waspada, “karena mulutmu adalah harimaumu”, semua ucapan terdakwa dicatat oleh panitera.
Namun Raja Daud begitu berani membuka diri oleh karena yakin akan keadilan Allah yang bersifat pasti dan ini membuat ketakutannya berubah menjadi tantangan. Keadilan Allah harus diimbangi dengan keterbukaan dan kejujuran di hadapan-Nya. Tentu tidak fair kalau kita meminta keadilan sementara kita sendiri tidak adil. Ilustrasi: untuk mendapatkan keadilan maka dua belah pihak yang berperkara harus mau terbuka, jujur dan rela diselidiki dan disidik oleh si pemberi keadilan. Contoh: akan sangat berisiko dipermalukan jika kita datang kepada Yesus meminta keadilan untuk menolong usaha kita tetapi kita mematikan usaha orang lain atau kita minta keluarga kita ditolong oleh-Nya tetapi kita merusak keluarga orang lain atau kita minta Tuhan menolong agar sekolah kita berhasil tetapi kita sering membolos dan tidak mengerjakan tugas dst. Ia akan menyebut kita munafik bagaikan kuburan dilabur putih. Kita perlu adil menilai diri sendiri dan tahu diri ketika meminta keadilan Tuhan. Kalau kita melakukan kejahatan, kita minta ampun bukan memohon keadilan dari-Nya.
Siapa yang dimaksud dengan Kush, orang Benyamin, oleh Daud di Mazmur 7 ini? Dia adalah Simei dari keluarga Saul yang menuduh Daud penumpah darah dan orang dursila (2 Sam. 16:5-8). Kalau tuduhan Simei benar, Daud tidak berhak meminta keadilan Allah dalam hal ini. Dia harus meminta pengampunan dan pemulihan dari Tuhan bukan keadilan-Nya.
Benarkah Daud penumpah darah Saul? Tidak! Saul yang terluka parah oleh panah orang Filistin meminta pembawa senjatanya membunuh dia daripada ditawan oleh musuh tetapi pegawainya tidak mau kemudian Saul mengambil pedang itu dan menjatuhkan diri ke atasnya (1 Sam. 31). Datanglah orang Amalek menghadap Daud dan mengaku dia membunuh Saul sambil membawa jejamang di kepala dan gelang di lengannya Saul untuk ditunjukkan kepada Daud. Mendengar cerita orang Amalek ini, Daud bukannya sukacita tetapi malah menyuruh anak buahnya membunuh orang Amalek itu (2 Sam. 1:1-15).
Daud juga dituduh sebagai orang dursila = orang jahat yang berkelakuan buruk. Simei menuduh Daud menumpahkan darah Saul maka balasannya sekarang Daud dikudeta oleh anaknya sendiri, Absalom. Mendengar sumpah serapah Simei, pengawalnya (Abisai) tidak tahan dan hendak memenggal kepala Simei tetapi Daud mencegahnya walau hatinya sangat terluka. Benarkah Daud orang dursila? Tidak sama sekali. Dia masih peduli dan sangat baik kepada keturunan Saul dengan menyerahkan seluruh milik Saul kepada Mefiboset, cucu Saul (2 Sam. 9:8-9).
Apakah kutukan Simei berlaku pada Daud? Amsal 26:2 mengingatkan, “Seperti burung pipit mengirap dan burung layang-layang terbang, demikianlah kutuk tanpa alasan tidak akan kena.”
Aplikasi: kita harus bersyukur dan bermazmur karena Allah yang kita sembah itu adil dalam membela perkara yang sedang kita hadapi. Pengalaman-pengalaman di masa lalu menumbuhkan iman kita tentang keadilan Allah dan hati dipenuhi kasih-Nya sehingga kita tidak perlu membalas kejahatan dengan kejahatan.
- Karena keadilan adalah atributnya Allah (ay. 7-12)
Beberapa kali pemerintah kita mencoba menyesuaikan kebijakan baru tetapi ketika masyarakat demo mengingatkan pemerintah maka pemerintah menangguhkan pelaksanaan kebijakan barunya. Namun kita tidak perlu mendikte Allah atau menjelaskan perkara kita kepada-Nya atau mengingatkan Dia supaya adil untuk kemudian Ia merevisi keputusan-Nya. Mengapa? Karena keadilan itu adalah atribut Allah dan melekat dengan diri-Nya sehingga Ia tidak tahu dan tidak dapat berbuat tidak adil.
Bagaimana Daud menggambarkan keadilan Allah?
Ilustrasi: ketika kita mengendarai kendaraan di jalan raya tanpa membawa Surat Izin Mengemudi (SIM) atau melakukan kesalahan lain, kita akan langsung merasa tidak nyaman dan tidak tenang begitu melihat polisi. Beda kalau kita membawa lengkap SIM dan kelengkapan kendaraan komplet, kita akan berani tanya arah kepada polisi. Demikianlah keadilan Allah berlaku bagi orang yang tulus/lurus hatinya.
a. Ia bagaikan perisai bagi orang tulus
Keadilan Allah melekat bagaikan perisai dalam dirinya sehingga dia merasa nyaman dan percaya diri walau berjalan di tengah-tengah impitan persoalan dan fitnahan yang menyakitkan.
Keadilan Allah bagi Daud bagaikan ‘karma instan” sehingga dia tidak perlu bertindak berlebihan sebab Allah yang adil akan menimpakan hukuman kepada orang jahat itu sendiri (ay. 16). Simei dihukum mati karena telah melanggar perintah Raja Salomo yang melarang dia keluar dari Yerusalem. Dengan demikian keadilan Allah digenapi, Simei mati karena perbuatan jahatnya terhadap Daud (1 Raja. 2:36-44).
Aplikasi: hendaknya kita tidak mudah menuduh dan memfitnah orang-orang yang sederhana dan tulus hati karena Allah yang adil akan berperkara dengan kita.
b. Ia bagaikan hakim yang tepat dalam memutuskan.
Kita tidak perlu meragukan Allah yang bertindak sebagai Hakim dalam menjatuhkan keputusan-Nya yang adil.
Masihkah kita meragukan keadilan Allah kemudian mencari keadilan dunia? Keadilan Allah kita peroleh melalui pengalaman hidup dalam menghadapi masalah dan yakin bahwa keadilan yang menjadi atribut-Nya itu pasti serta keputusan-Nya selalu tepat. Amin.